Sekitar 300 karyawan Media Nusantara Indonesia (MNI) yang merupakan anak perusahaan MNC Group mendatangi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Ratusan karyawan itu datang untuk mengadukan nasib mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Gilbert seorang karyawan yang terkena PHK, menganggap keputusan yang dilakukan perusahaan hanya akal-akalan untuk menghindari gaji karyawan di bulan Juli. "Kalau kami menganggap semestinya kami masih digaji bulan ini, tapi mereka melakukan ini untuk menyetop gaji kami bulan Juli. Akalan-akalan mereka," kata Gilbert di kantor Kemenakertrans, Rabu (5/7).
Gilbert yang sebelumnya menjabat sebagai asisten redaktur tabloid Genie ini mengaku tidak mendapat pesangon yang sesuai. Dari 12 tahun kerja ia hanya menerima Rp16,2 juta. Pihak perusahaan juga tidak menerangkan dari mana perhitungan angka tersebut didapatkan. Selain Gilbert, karyawan MNI lain yang terkena PHK juga mengalami nasib serupa. Namun, menurut Gilbert, dari 100 karyawan Genie yang terkena PHK dengan pesangon ala kadarnya, hanya 41 karyawan yang menolak menyetujui.
"Mereka tidak menganggapnya pesangon, mengistilahkannya dengan istilah uang tali kasih. Jumlahnya menurut kami tidak manusiawi. Misalnya, saya kerja 12 tahun hanya ditawari enam belas juta dua ratus sekian. Saya tanya ini angka keluar dari mana? Mereka bilang ini kebijakan manajemen. Enggak masuk akal kan," sesal Gilbert.
Di lingkungan MNC Group, menurut Gilbert, ada dana pensiun yang dikelola lembaga bernama PERA. Lembaga ini mengumpulkan dana dari gaji karyawan yang dipotong setiap bulan. Pemotongan itu masih berlangsung sampai mereka menerima gaji terakhir. Sayangnya, kata Gilbert, pembayaran dana PERA baru dilakukan setelah isu PHK sepihak oleh perusahaan mencuat ke publik.
“Yang kami sayangkan kenapa baru dibayarkan ketika sudah meledak. Ini tetap pelanggaran,” tambahnya.
Bukan cuma soal pesangon, Gilbert juga menyesalkan sikap manajemen MNI yang memberitahukan informasi PHK melalui surat. Mestinya, kata Gilbert, perusahaan memanggil baik-baik setiap karyawan. “Itu dikirimkan via JNE sehari sebelum cuti bersama lebaran. Memangnya gak bisa panggil saya. Saya ada kok. Kami menyayangkan hal itu. Tidak etis. Terlebih, dengan begitu kan bisa dibaca orang rumah. Bisa bikin sakit keluarga. Banyak dari kami yang masih menyembunyikannya,” katanya.
Surat PHK yang ditunjukkan Gilbert menyebutkan keputusan PHK diambil atas dasar perubahan strategi bisnis yang telah disepakati manajemen perusahaan pada tanggal 2 Juni 2017. Menurut Gilbert hal ini menjelaskan perusahaan belum sepenuhnya bangkrut. Apalagi hingga saat ini belum ada keputusan pengadilan bahwa perusahaan resmi bangkrut. “Pokoknya kami masih menunggu kejelasan status perusahaan,” ujarnya.
Atas semua ketidakadilan yang diterima itu, Gilbert dan sejumlah karyawan MNI yang menjadi korban PHK mengaku ke Kemenakertrans. Sayangnya pertemuan yang difasilitasi Kemenakertrans ini tidak dihadiri pihak MNC Group. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Perindustrian Kemenakertrans, John Daniel Saragih mengklaim telah mengundang pihak MNC. “Pihak perusahaan juga kita sudah undang, ternyata tidak hadir,” Daniel.
Menurut Daniel, Kemenakertrans akan kembali mengundang pihak MNC dalam pertemuan lanjutan pada Senin 10 Juli mendatang. Menurutnya kehadiran pihak perusahaan penting menjelaskan alasan di balik PHK karyawan. “Sesuai dengan arahan pimpinan untuk mengklarifikasi apa sih yang terjadi di koran Sindo, ada PHK sepihak, ada pemberhentian, nah semua kami coba panggil,” ujar Daniel.
Dalam pertemuan tertutup bersama para karyawan yang menjadi korban PHK, Daniel mengaku mendapat banyak informasi. Misalnya saja PHK dan pesangon yang tidak sesuai peraturan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Daniel mengatakan sebelum melakukan PHK perusahaan mestinya berusaha memberikan alternatif kepada karyawan. Kalaupun akhirnya harus di PHK, ada prosedur yang mesti dilewati oleh perusahaan, yakni pertemuan bipatrit antara perusahaan dan karyawan. Kalau tidak mendapat jalan keluar, maka melalui tripatrit dengan melibatkan pihak ketiga.
“Kalau sesuai dengan UU nomor 2 tahun 2004 Bipartit dulu yang pertama, Bipartit itu 30 hari, kemudian Tripartit. Kalau gagal juga baru ke pengadilan,” kata Daniel.
Pengurus Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMII) Sasmito Madrim menyatakan ada dua pelanggaran utama yang dilakukan oleh pihak MNC. Pertama PHK yang tidak sesuai prosedur. Kedua pesangon yang tidak sesuai. “Surat PHK yang diberikan ke teman-teman itu juga tidak manusiawi. Ada teman-teman yang sudah bekerja belasan tahun PHK-nya ini hanya diberikan melalui surat dikirim ke rumahnya. Ketika pekerja dibutuhkan, kita dipanggil bra-bro, ketika bermasalah udah dibuang begitu saja, tidak manusiawi,” kata Sasmito.
“Yang kedua kalaupun terjadi PHK kita mendorong perusahaan memberikan hak yang sesuai diundang-undang,” lanjut Sasmito.
Sasmito mengungkapkan saat ini terdapat sekitar 300 pekerja yang menjadi korban PHK perusahaan. Dari jumlah tersebut situasi paling paling rawan dihadapi para pekerja kontrak non jurnalis. “Kalau yang jurnalis, karena dia core bisnisnya media, dia seharusnya tidak bisa dikontrakkan, harus jadi karyawan tetap. Yang non-jurnalis itu harus dihitung sisa masa kontrak kerjanya. Kalau sisa kontraknya lima bulan itu perusahaan harus membayarkan lima kali gaji,” katanya.
Sumber: tirto.id
0 comments: