Monday, March 2, 2015

Budaya Mappadendang, Pesta Panen Orang Bugis

Ritual Mappadendang adalah suatu ritual untuk syukuran pane padi. Upacara ini adalah sebuah adat yang berasal dari masyarakat bugis dari zaman dahulu. Upacara ini biasanya dilakukan setelah panen raya  ketika memasuki musim kemarau. Ritual ini biasanya dilaksanakan pada malam hari. Komponen utama dalam acara ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik Baruga, lesung, alu, dan pakaian tradisionil yaitu baju Bodo.
Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga disebut Pakkindona, sedang pria yang menari dan menabur bagian ujung lesung disebut Pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta memiliki pagar yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut Walasoji.
Upacara biasanya berlangsung hingga tengah malam. Namun, pada acara- acara tertentu seperti pembukaan acara dan pertunjukkanbagi tamu asing dan wisatawan dilakukan di siang hari. Tradisi ini sudah dijalankan secara turun temurun. Semua orang melakukan mappadendang ketika musim panen sudah tiba.
Namun, saat ini ritual tersebut sudah jarang dilakukan mengingat sudah tidak ada lagi pare riolo dan katto bokko. Pare riolo adalah sebutan padi varietas lama yang tumbuh dengan batang lebih tinggi. Lebih panjang ketimbang varietas baru yang pernah diperkenalkan pemerintah tahun 1970-an lewat program intensifikasi pertanian, macam PB-5 dan PB-8 yang berbatang pendek.
Saat musim panen tiba para warga biasanya memotong ujung batang padi dengan ani-ani. Ani-ani adalah sebuah pisau pemotong yang ukurannya kecil. Jika padi sudah terkumpul, biasanya padi hasil panenan tersebut akan dirontokkan dengan cara menumbuk dalam sebuah lesung.
Suara benturan antara kayu penumbuk, yang disebut alu, dan lesung ini biasanya terdengar nyaring. Membentuk irama ketukan yang khas rancak bertalu-talu. Gerakan dan bunyi tumbukan berirama inilah yang menjadi asal-usul seni mappadendang.
Tradisi ini turun temurun. Sampai akhirnya lambat laun mulai ditinggalkan setelah pemerintah menggulirkan program intensifikasi pertanian untuk mendongkrak produktifitas ekonomi nasional. Ritual Mappapendang ini tidak hanya dikenal di daerah Kalabbiran saja.
Pada umumnya ritual ini terkenal di berbagai tempat yang penduduknya bergantung pada usaha pertanian. Dari mulai turun ke sawah hingga pane nada ritualnya. Misalnya ritual appalili sebelum membajak tanah dan ketika menyimpan bibit padi di tempat khusus. Ketika panen tiba digelarlah ritual panen raya atau katto bokko.
 
Review Buku - Ngawur Karena Benar, Sudjiwo Tedjo
Pertandingan bola antara Dursasana dan Cakil ternyata ramai sekali. Belum ada seorang pun merasa pernah menonton wayang kulit maupun wayang orang, yang Dursasana bisa ketemu perang sama Cakil. “Satunya tinggi besar…seperti pemimpin…di mana itu…?” “Iya aku tahu…tahu. Dan satunya kecil-kecil. Dagu panjang maju… seperti…pokoknya salah satu orang terkaya…haha….”

Bisa ditebak, kisah satire itu menyentil siapa. Dursasana dan Cakil di tulisan itu merepresentasikan siapa? Bisa Anda tebak. Atau tidak ingin menghubungkannya dengan siapapun kecuali sosok Dursasana dan Cakil yang tokoh wayang juga tidak apa-apa. Toh Tejo juga membawa cerita ini ke arah semau dia. Loncat sana, loncat sini.
Demikian Sujiwo Tejo menuliskannya dalam tajuk “Hujan Bola di Negeri Orang, Hujan tangis di…”, termuat dalam buku Ngawur karena Benar yang merupakan kumpulan tulisan. Seluruhnya ada 37 tulisan, dan pernah dimuat di sejumlah media sepanjang 2010-2011. Dalang Mbeling ini menggabungkan lakon-lakon dalam wayang, atau hanya mencomot tokohnya, lantas disambungkan dengan peristiwa yang sedang panas saat itu.
Sujiwo Tejo adalah Presiden Jancukers dari Republik Jancukers, sebuah gerakan di dunia maya yang mengusung kejujuran, dan menolak bersantun-santun ria kalau bukan itu yang ada di hati. Melalui buku ini, dia menyatakan “berani karena benar” tak lagi istimewa. “Ngawur karena benar”-lah yang sekarang istimewa.
Ngawurisme ala mbah Tejo bermula dari palsunya kesopanan dan tata krama yang selama ini diagung-agungkan. Jancuk sebagai akarnya. Ketika sebuah tujuan tidak bisa dicapai karena terlalu banyak tata krama, cara satu-satunya adalah ngawur.
Ngawur di sini bukan berati arogan ataupun urakan yang sifatnya anarkis. Ngawur di sini maksudnya adalah keluar dari pakem. Tidak sesuai dengan aturan formal-prosedural yang ada. Dan mbah Tejo sendiri lebih menyukai cara yang ngawur namun tidak munafik dibanding santun namun munafik.
Isi buku ini adalah satire yang mbah Tejo ungkapkan dengan menyangkutpautkan kisah dunia perwayangan baik Ramayana maupun Mahabharata dengan kemelut yang terjadi Di Indonesia. Beberapa judul yang menarik adalah “Burisrawa Berwajah Gayus”, “Yudhistira Naik-naik ke Puncak Gaji”, “Memasuki Milenium Sengkuni”, dan maih banyak lagi.
Memang, mayoritas isi pemikiran buku ini cenderung liberal bagi saya. Namun alasan kuat yang membuat saya membeli buku ini adalah kisahnya yang diambil dari kisah pewayangan. Mengingat masa kecil saya sudah sangat akrab dengan kisah wayang. Dulu bapak saya selalu bercerita tentang wayang. Tak jarang pula saya diajak menonton wayang meski akhirnya tertidur di tengah cerita.
Jadi, buku ini cocok sebagai referensi untuk mengenal karakter wayang tanpa melupakan kemelut yang terjadi di negeri ini.

Judul Buku : Ngawur Karena benar
Pengarang : Sujiwo Tejo
Jumlah Halaman : 247 halaman
Bulan, Tahun Terbit : Cetakan pertama, Februari 2012


Review Film Birdman - Film terbaik oscar 2015
Synopsis: A washed-up actor, who once played an iconic superhero, battles his ego and attempts to recover his family, his career and himself in the days leading up to the opening of his Broadway play
Actor Riggan Thomson is most famous for his movie role from over twenty years ago of the comic book superhero Birdman in the blockbuster movie of the same name and its two equally popular sequels. His association with the role took over his life, where Birdman is more renowned than "Riggan Thomson" the actor.