Saturday, July 8, 2017

Filosofi Kopi 2: Kopi, Sahabat dan Cinta
LALU, TERNYATA FILOSOFI KOPI dibuatkan lanjutannya. Informasi ini sudah saya dengar berbulan-bulan lalu dari seorang teman yang kedainya jadi tempat syuting film Filosofi Kopi 2. Wah, kayaknya menarik ini, kata saya dalam hati.


Jumat 7 Juli 2017, bersama beberapa rekan bloger Makassar lainnya saya diundang menghadiri Gala Premiere Filosofi Kopi 2; Ben & Jody yang digelar di Trans Studio Mall, Makassar. Filmnya sendiri baru akan rilis tanggal 13 Juli nanti, jadi sebagai orang yang diundang tentulah saya senang. Apalagi beberapa bulan sebelumnya saya sempat bertemu dan mengobrol langsung dengan Chico Jericho dan Rio Dewanto, dua pemeran utama Filosofi Kopi 2.

FILM DIBUKA DENGAN ADEGAN sebuah mobil VW Combi yang sudah dimodifikasi menjadi kedai kopi berjalan sibuk melayani pelanggan. Alunan musik pengantarnya sangat familiar di kuping saya, suara Robi Navicula! Okey, sepertinya ini jadi awal yang bagus.

Cerita kemudian bergulir, satu per satu barista Filosofi Kopi yang menggunakan mobil VW Combi itu meng….eh, tunggu! Filmnya baru akan tayang tanggal 13 Juli nanti jadi sebaiknya cerita ini tidak saya teruskan.

Kita langsung lompat saja ke cerita umum dan kesan saya tentang film ini ya.

Mulai dari cerita umum dulu.

Beberapa kejadian membuat Ben dan Jody, dua sahabat yang mengelola Filosofi Kopi berpikir untuk kembali ke Jakarta setelah berjalan sepanjang pulau Jawa dan Bali dengan VW Combi itu. Mereka kembali merajut mimpi untuk mengelola Filosofi Kopi dengan konsep yang berbeda. Masalah yang menjadi problem adalah mereka tidak punya cukup dana untuk memulai konsep baru tersebut. Harus ada pemilik modal yang bisa membantu mereka.

Takdir (atau dalam kasus ini penulis skenario) mempertemukan mereka dengan Tarra (diperankan Luna Maya yang mulai terlihat lebih tua dengan keriput di wajah cantiknya). Tarra bersedia menjadi pemodal meski tentu saja alurnya tidak mudah. Harus ada konflik dong, masak ketemu, ngobrol langsung deal.

Singkat cerita Filosofi Kopi yang baru berhasil lahir kembali di tangan Ben dan Jody serta Tarra. Sebagai tambahan, satu barista lagi dimunculkan. Namanya Bri (diperankan Nadine Alexandra yang gaya funky dan geek-nya cukup menarik buat saya). Bri diculik Jody dari café punya temannya. Aslinya dia mantan mahasiswa dari Australia yang pernah belajar menjadi barista.

Kalian yang nonton Filosofi Kopi 1 pasti tahulah bagaimana karakter Ben yang keras dan tidak gampang cocok sama orang lain. Bri yang dibawa Jody tentu saja tidak diterima dengan baik oleh Ben.

“Urusan nyari Barista, itu urusan gue!” Kata Ben.

Tapi Jody entah kenapa tetap keras kepala dan mempertahankan Bri meski dengan resiko si gadis funky dan geek itu terus dirisak oleh Ben.

Karena saya tidak mau berpanjang-panjang bercerita, takut nanti spoiler jadi saya langsung saja ya. Konflik muncul dari empat tokoh itu; Ben, Jody, Tarra dan Bri. Ada rahasia masa lalu yang muncul ke permukaan dan ternyata berdampak sangat buruk pada persahabatan Ben dan Jody serta hubungan bisnis antara Ben, Jody dan Tarra serta hubungan kerja antara Ben dan Bri.

Konfliknya sebenarnya tidak terlalu dalam dan ribet, tapi sifat Ben yang keras kepala, cuek dan emosian yang bikin konflik ini jadi seru.

Hingga akhirnya konflik ini selesai dengan cara yang manis dan tidak diduga-duga sebelumnya.

NAH KIRA-KIRA CERITA UMUMNYA seperti itu. Lalu bagaimana kesan saya pada film ini?

Dengan ke-sok tahu-an saya, saya menyematkan skor 7.5/10 untuk film ini. Untuk cerita, akting dan sinematografinya sebenarnya saya mengganjarnya dengan skor 7/10, poin 0.5 lagi saya tambahkan karena salah satu setting lokasinya adalah salah satu coffee shoplangganan saya di Makassar, ha-ha-ha-ha. Subjektif boleh dong.

Bahkan seandainya saja John Cendra si pemilik coffee shop diberi dialog saya pasti akan menambahkan lagi poin 0.5 untuk film ini. Ha-ha-ha-ha.


Anyway, Filosofi Kopi 2 cukup menyenangkan ditonton (di luar fakta kedua penonton cewek di samping saya sangat menyebalkan. Mereka terus bercakap-cakap sepanjang film, menelepon, mainan HP, bahkan video call! Untungnya mereka akhirnya keluar ketika film sudah kira-kira ¾ durasi. Sialan!).

Menyenangkan karena saya bisa menikmati cerita, sinematografi dan aktingnya. Khusus untuk akting, saya suka akting kedua tokoh utamanya. Kelihatan sekali mereka punya chemistry yang kuat. Sebagai bocoran, ketika bertemu dengan mereka berdua pun saya bisa melihat kalau mereka saling memanggil dengan nama Ben dan Jody, bukan Cicho dan Rio. Bukti kalau penjiwaan mereka atas peran itu memang kuat.

Saya suka dialog mereka yang natural dan menggambarkan kedekatan sepasang sahabat. Mereka bisa saling mencela dengan kata “babi” atau “anjing” tanpa ada yang sakit hati. A true closest friend, huh?

Kekuranganya mungkin di bagian tengah sampai akhir ada kesan kalau cerita berjalan sangat lambat. Ada bagian-bagian yang bisa saja dipotong atau bisa ditambahkan kalau memang mau diperkuat. Tapi kelemahan ini masih bisalah ditoleransi, sepanjang kamu menonton tidak di samping orang yang asik ngobrol, menelepon atau video call (iya, saya masih kesal).

Buat yang senang kopi, film ini tentu jadi salah satu yang wajib ditonton. Buat yang tidak suka kopi, kisah tentang persahabatan dan cinta di film ini juga masih patut disimak. Pun beberapa tambahan informasi tentang budaya Toraja bisa jadi pengetahuan baru buat kalian.

Satu kutipan yang suka dari film ini adalah, “Kopi enak bukan hanya dari caranya menyajikan, tapi juga dari cara menanamnya,”

Yup! Kita kadang lupa kalau di segelas kopi enak yang kita seruput ada keringat para petani yang dengan cinta merawat kopi itu seperti merawat anak sendiri.

Oh sebelum saya lupa. Satu tiket yang kalian beli untuk menonton film ini berarti kalian sudah menyumbang satu benih kopi untuk petani kopi Indonesia, begitu kata Luna Maya semalam. Ah, panjang umur petani kopi Indonesia! [dG]

Sumber: Daenggassing.com